
Seni
musik tampaknya sudah melekat dalam jiwa masyarakat Nias sejak dulu.
Kecintaan akan seni musik diwujudkan dalam pembuatan alat musik yang
sederhana, tetapi mampu memproduksi suara yang indah. Alat musik yang
dibuat dengan memanfaatkan bahan di sekitar ini, memang nyaris tidak
dipergunakan lagi kecuali untuk acara tertentu. Setidaknya hanya aramba
(gong), faritia (canang) dan g�ndra (bedug) saja yang masih setia
dipergunakan dalam keseharian masyarakat terutama pada pesta pernikahan.
Untuk
menyegarkan ingatan sekaligus memperkenalkan alat musik tradisional
Nias kepada generasi muda, inilah beberapa alat musik tradisional khas
Nias diklasifikasikan berdasarkan cara memainkannya. Keseluruhan alat
musik ini dijelaskan, diajarkan dan dipertunjukkan oleh tim kesenian
Museum Pusaka Nias pada pelatihan yang dilaksanakan untuk memperingati
HUT Museum Pusaka Nias ke 19, November 2014 lalu.
Alat musik pukul
Koko
(pentungan) merupakan jenis alat musik paling sederhana. Terbuat dari
kayu dengan panjang bervariasi antara 30 hingga 50 cm dan berdiameter
antara 30 hingga 40 cm. Bagian tengahnya dilubangi hingga menyisakan dua
atau tiga sentimeter di seluruh sisinya. Awalnya, koko berfungsi
sebagai alat komunikasi antar penduduk untuk berkumpul saat ada
pertemuan desa atau saat terjadi kemalangan. Namun, kini koko juga
difungsikan sebagai alat musik pengiring. Cara memainkannya yakni
dipukul menggunakan kayu berdiameter 5 cm dengan panjang yang
disesuaikan dengan ukuran kokonya.
Di daerah Pulau Tello, alat
musik sejenis ini disebut dauli-dauli. Cara memainkannya hampir sama
tetapi bila koko dimainkan secara horizontal maka dauli-dauli dimainkan
secara vertikal. Ukurannya juga jauh lebih besar dari koko serta
diberikan ukiran dan warna yang menarik.
Doli-doli merupakan
versi mini dari alat musik tradisional kolintang di Sulawesi. Terbuat
dari beberapa kayu tipis yang disusun berjajar. Kayu yang digunakan
seperti sirugi, git�, boli, olalu, na�a, dan la�ore. Doli-doli ada yang
hanya disusun begitu saja namun ada pula yang sudah diberi penyangga.

Alat musik fondrahi koleksi Museum Pusaka Nias | Foto: NBC/Anoverlis Hulu
Tutuhao
mungkin termasuk alat musik yang unik. Bagaimana tidak jika dari seruas
bambu bisa menghasilkan tiga suara yang berbeda, aramba, faritia, dan
g�ndra. Suara aramba dihasillkan dari sisi atas bambu yang telah
dilubangi, suara faritia dan g�ndra dihasilkan dari senar yang terbuat
dari sayatan kulit bambu. Alat musik yang satu ini seperti perpaduan
antara alat musik Genggong dari Kabupaten Subang, Jawa Barat dan
Celempung dari Sunda.
Fondrahi adalah sejenis gendang kecil yang
terbuat dari batang pohon nibung. Alat musik ini dulunya haya dipakai
oleh para imam agama kuno Nias �Ere� saat melakukan ritual persembahan
kepada dewa-dewa dan roh-roh. Cara memainkannya pun hanya dipukul satu
persatu secara perlahan. Namun saat berfungsi sebagai alat musik,
fondrahi dimainkan dengan cepat dan juga bisa menggunakan lebih dari
satu buah fondrahi.
Duri ahe adalah alat musik yang terbuat dari
bambu. Cara memainkannya juga unik, dipukulkan ke lutut atau tulang
paha. Duri ahe terdiri atas nada rendah dan tinggi. Bisa dimainkan
secara tunggal, bisa juga dimainkan sekaligus. Selain itu, adapula alat
musik yang setara fungsinya dengan duri ahe yakni riti-riti. Namun
riti-riti dimainkan dengan cara diguncang. Riti-riti terbuat dari
tempurung kelapa yang diisi dengan batu. Riti-riti jauh lebih popular
ketimbang duri ahe.
Alat Musik Gesek
Raba, alat
musik gesek sejenis rebab tapi ukurannya lebih kecil. Badan raba terbuat
dari tempurung kelapa. Posisi memainkannya bisa seperti biola
(horizontal) atau bass (vertikal). Raba hanya terdiri dari satu senar.
Lagia,
alat musik yang hampir sama dengan rebab tapi ukurannya lebih besar.
Lagia juga hanya memiliki satu senar dan dimainkan dengan posisi
vertikal. Badan lagia terbuat dari pohon nibung. Menurut cerita, alat
musik ini diciptakan oleh seorang laki-laki bernama Ba�uruna. Ia seorang
penderita kusta yang diusir dari kampungnya. Untuk menghibur diri, ia
membuat lagia lalu memainkannya.
Diiringi lagia, Ba�uruna
menyanyikan lagu yang menceritakan kesedihannya atas apa yang
menimpanya. Nyanyian ini lantas terdengar oleh warga kampung sehingga
timbullah rasa iba kepadanya. Karena itulah, ia kemudian diterima
kembali ke kampungnya. Sejak saat itu, lagia buatan Ba�uruna selalu
digunakan saat ada kemalangan terjadi di kampung tersebut, misalnya
kematian.
Alat musik petik
Alat musik yang dimainkan
dengan cara dipetik ini adalah duri mbewe. Bentuknya seperti gunting
kecil, terbuat dari besi dan diberi kawat. Cara memainkannya adalah
dengan menempatkannya diantara bibir menggunakan tangan kiri, lalu jari
telunjuk kanan yang memetik kawat pada alat musik tersebut. Hanya satu
nada saja yang dihasilkan.

Alat musik fondrahi koleksi Museum Pusaka Nias | Foto: NBC/Anoverlis Hulu
Sementara
itu, alat musik seperti surune/surugi (seruling), tambur dan okulele
juga sudah masuk sebagai alat musik yang umum digunakan meskipun bukan
asli Nias.
Satu lagi alat musik yang pernah dimainkan budayawan
dan seniman Nias Selatan, Hikayat Mana� adalah feta batu. Feta batu
adalah alat musik yang terbuat dari batu. Di Nias, alat musik ini
pertama kali diperkenalkan Hikayat Mana� yang mengetahui bahwa batu
tertentu dapat menghasilkan nada yang beraturan. Feta batu pernah
ditampilkan pada gelar budaya yang dilaksanakan di Palembang, Sumatera
Selatan.
Pertunjukan alat musik tradisional khas Nias ini memang
sangat dinantikan kehadirannya. Untuk itu, sudah saatnya alat musik ini
diperkenalkan sebagai kekayaan budaya Nias terutama dalam bidang seni
Musik. Bersyukur, pada Pagelaran Budaya yang dilaksanakan Pemerintah
Kota Gunungsitoli November 2014 lalu juga menampilkan beberapa di
antaranya. Dan yang cukup membanggakan adalah pemainnnya sebagian besar
generasi muda.
Tentunya, ini harus diteruskan mengingat minat
terhadap musik tradisional ini hanya sebatas para peminat budaya seperti
mereka yang terlibat dalam sanggar. Minimnya fasilitas serta tenaga
pengajar memang menjadi kendala pelestarian alat musik ini. Para guru
dari beberapa sekolah yang mengikuti pelatihan ini juga menyampaikan
harapannya agar Museum Pusaka Nias bisa memfasilitasi sekolah-sekolah
yang berminat belajar lebih jauh tentang alat-alat musik tradisional
Nias ini. Terlebih di Gunungsitoli, dalam kurikulum pelajaran telah
disertakan mata pelajaran muatan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk
memperkenalkan alat-alat musik ini.
Selain mendorong lembaga
pemerhati budaya dan lembaga pendidikan, sudah saatnya pertunjukan musik
tradisional mendapat tempat khusus sehingga tidak hanya berfungsi
sebagai pengiring semata. Misalnya dalam pagelaran budaya mendatang,
satu sesi hendaknya disediakan khusus menampilkan ansambel ataupun
permainan solo setiap alat musik ini. [ANOVERLIS HULU]
http://www.nias-bangkit.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar